PURA LEMPUYANG
DI KABUPATEN KARANGASEM
Pura Lempuyang terletak belahan timur pulau Bali,
bertengger di puncak bukit Gamongan, 22 kilometer dari Amlapura, ibu kota
Kabupaten Karangasem. Amlapura sendiri berada sekitar 95 kilometer jauhnya dari
Kuta. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah
ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari
batu.
Dalam konsep Dewata Nawa Sanga
(Sembilan Dewata yang menguasai sembilan mata angin), pura ini merupakan sthana
Dewa Iswara. Pura ini dibagi menjadi tiga mandala dari bawah ke atas yakni
Lempuyang Sor, Lempuyang Madya dan Lempuyang Luhur. Dari ketiganya, pura
Lempuyang Luhur berada pada posisi yang tertinggi.
Berdasarkan lontar Markandeya
Purana, Pura Lempuyang didirikan oleh Rsi Markandeya sekitar abad ke-8 M. Pada
saat itu Rsi Markandeya membuat sebuah pesantrian untuk keperluan
persembahyangan sekaligus membabarkan ajaran Hindu. Pesantrian tersebut
diperkirakan berada pada lokasi Pura Lempuyang Madya saat ini, di mana di sini
beliau dikenal sebagai Bhatara Gnijaya. Hingga saat ini masih sangat sulit
untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang secara jelas. Soalnya data-data yang
kuat sukar didapatkan.
Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga
pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur, yakni Pura
Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung
Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan,
diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci
yang terbuat dari batu. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau
Dewa Iswara.
Ada sebuah informasi berdasarkan pemotretan dari angkasa luar,
di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat terang. Paling terang
dibandingkan bagian lainnya. Namun tak diketahui pasti dari kawasan mana sinar
itu, tetapi diduga dari Gunung Lempuyang.
Soal arti dari Lempuyang, ada berbagai versi. Dalam buku
terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul ''Lempuyang Luhur'' disebutkan,
lempuyang berasal dari kata ''lampu'' artinya sinar dan ''hyang'' untuk
menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang
diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang (mencorong/menyorot). Pura
Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Versi lain menilik ''lempuyang'' sebagai sebuah kata yang
berdiri sendiri. Di Jawa lempuyang itu menunjuk sejenis tanaman untuk bumbu. Hal
itu juga dikaitkan ada banjar di sekitar Lempuyang bernama Bangle dan Gamongan,
keduanya juga tanaman sejenis yang bisa dipakai obat atau bumbu. Versi lain
juga menyebut dari kata ''empu'' atau ''emong'' yang diartikan menjaga. Batara
Hyang Pasupati mengutus tiga putra-putrinya turun untuk mengemong guna menjaga
kestabilan Bali dari berbagai gunjangan bencana alam. Ketiga putra-putri itu
yakni Bathara Hyang Putra Jaya berstana di Tohlangkir (Gunung) Agung dengan
parahyangan di Pura Besakih, Batari Dewi Danuh berstana di Pura Ulun Danu Batur
dan Batara Hyang Gni Jaya di Gunung Lempuyang.
Namun, apa pun versi dari lempuyang itu, Pura Lempuyang
sendiri memiliki status yang sangat besar, sama seperti Besakih. Baik dalam
konsep padma buwana, catur loka pala atau pun dewata nawa sanga. Dalam berbagai
sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut
selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Lempuyang.
Pura Lempuyang Luhur yang terletak sangat tinggi di puncak
Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang itu, diduga termasuk pura paling tua di
Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula
bangunan suci yang terbuat dari batu.
Pada sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya Pura
Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari
pohon. Di bagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah
tak ada diduga tumbang atau mati. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar,
sebuah padma tunggal bale piyasan. Kini, pemugaran dan pemugaran pura kian
meningkat.
Mengutif sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi --
pemangku di pura itu -- mengatakan orang Bali apa pun wangsanya tak boleh
melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil
sembahyang ke pura ini. Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang
manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bisa tak pernah menemukan
kebahagiaan, kerap cekcok dengan keluarga atau masyarakat dan bahkan pendek
umur.
Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya
di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam
lontar Brahmanda Purana sebagai berikut: ''Wastu kita wong Bali, yan kita lali
ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira
Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa
drawa.''
Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar
ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan
mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka
bertirtayatra ke pura ini.
Jero
Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit
di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku
pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta
dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa
yadnya. ''Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak
ingin kena marabahaya,'' ujar Jero Mangku.
Pengayah
Saat pujawali tak terlalu besar pengayah. Biasanya dari Desa
Pakraman Purwayu saja. Namun, jika pujawali besar seperti Batara Turun Kabeh
dan Batara Masucian ke Segara, pengayah turun dari enam desa pakraman di
sekitarnya, seperti Purwayu, Segeha, Basangalas, Ngis, Tista dan Gulinten.
Pada pujawali, pengayah ngamedalang Ida Batara dari
pasimpenan di dekat areal parkir pertama. Ida Batara kapundut teruna (pemuda)
dan krandan (remaja putri). Sebelum ngayah, mereka mesti mabyakawon (mensucikan
diri) di areal Pura Pesimpenan. Ida Batara kairing ke bale piasan Pura
Penataran untuk mahias, lalu masucian ke Pura Telaga Mas, kairing munggah ke
Pasar Agung dan masandekan sebentar. Berikutnya, barulah kairing ke Luhur dan
kalinggihang, kaaturan panyejer tiga hari. Pujawali tiap enam bulan yakni
puncaknya pada Wraspati Umanis Dunggulan.
Langgar
Pantangan
Sejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk.
Saat naik ke Lempuyang Luhur, kata Jero Mangku Gede Wangi, sejak awal pikiran,
perkataan dan perbuatan harus disucikan. Tak boleh berkata kasar saat
perjalanan.
Selain itu, orang cuntaka, wanita haid, menyusuai, anak yang
belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke
pura setempat. Jero Mangku mengatakan, pernah ada rombongan orang sembahyang
naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat
orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena
tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ''Saya dengar salah
seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi
saran itu tak gubris,'' ujar Jero Mangku.
Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke
Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawa perhiasan emas. Soalnya, umat
yang menggunakan perhiasan emas, perhiasan itu kerap hilang misterius. ''Membawa
atau makan daging babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak dilakukan,
karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang, hampir sama
dengan ke Pura Luhur Batukaru.
Jero Mangku mengatakan, masyarakat dan umat yang naik ke
Gunung Lempuyang diharapkan tak berbuat buruk, seperti mengambil tanaman,
melakukan corat-coret di jalan atau di pura. ''Sampah terutama sampah plastik
hendaknya dibawa atau dibuang di tong sampah yang tersedia. Berbakti kepada
Tuhan bukan cuma lewat sembahyang, tetapi juga dengan jalan karma marga seperti
menjaga kebersihan lingkungan alam atau pura,'' katanya.
Jero
Mangku mengatakan, belum pernah ada orang yang menghitung pasti berapa
sebenarnya jumlah tangga naik ke Pura Luhur yang berketinggian lebih dari 1.174
meter. Ada yang mengatakan 1.750 tangga, ada juga yang mengatakan 1.800.
Masyarakat
setempat mengatakan, cuma bersembahyang --insidental -- ke Pura Lempuyang Luhur
disebutkan tak harus melakukan pelukatan saat masuk pura. Soalnya, selain ke
Lempuyang Luhur umat bisa melukat di pesucian Telaga Mas, saat naik menuju Pura
Luhur yang tinggi berbagai kotoran tubuh juga berangsur disucikan. Soalnya,
ribuan kali menghela napas seperti saat pranayama, keringat keluar. ''Sembahyang
sampai ke Pura Lempuyang Luhur merupakan pendakian spiritual. Umat yang
benar-benar niatnya kuat dilandasi Tri Kaya Pasisudha yang mampu dengan mudah
mampu mencapai Pura Luhur. Jika ragu-ragu atau tak tulus bisa terjadi halangan,
seperti kepayahan bahkan terjatuh di jalan,'' ujar Arnawa.
Empat Jalur
Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura
Lempuyang Luhur. Berdasarkan buku yang disusun Dinas Kebudayaan Bali (1998),
bisa lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bisa melewati Pura Penyimpenan,
Penataran Agung, Telaga Mas, Pasar Agung barulah ke Lempuyang Luhur.
Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang
Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang dan Pura Pasar Agung. Sementara dari
Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta
Suniamerta, Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana
Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung
(panyawangan) terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir melewati Banjar
Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan
naik ke Lempuyang Luhur.
Foto Pura Lempuyang
KETUT WINDU RATNASARI (1211031272)
NI MADE DWI GAYATRI (1211031274)
NYOMAN SUPRABAWA (1211031278)
MADE SUWARIYASA (1211031284)
KADEK SERIJANA (1211031286)
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014
0 komentar:
Posting Komentar