This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 24 April 2014

PURA LEMPUYANG DI KABUPATEN KARANGASEM


PURA LEMPUYANG
DI KABUPATEN KARANGASEM

Pura Lempuyang terletak belahan timur pulau Bali, bertengger di puncak bukit Gamongan, 22 kilometer dari Amlapura, ibu kota Kabupaten Karangasem. Amlapura sendiri berada sekitar 95 kilometer jauhnya dari Kuta. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu.
Dalam konsep Dewata Nawa Sanga (Sembilan Dewata yang menguasai sembilan mata angin), pura ini merupakan sthana Dewa Iswara. Pura ini dibagi menjadi tiga mandala dari bawah ke atas yakni Lempuyang Sor, Lempuyang Madya dan Lempuyang Luhur. Dari ketiganya, pura Lempuyang Luhur berada pada posisi yang tertinggi.
Berdasarkan lontar Markandeya Purana, Pura Lempuyang didirikan oleh Rsi Markandeya sekitar abad ke-8 M. Pada saat itu Rsi Markandeya membuat sebuah pesantrian untuk keperluan persembahyangan sekaligus membabarkan ajaran Hindu. Pesantrian tersebut diperkirakan berada pada lokasi Pura Lempuyang Madya saat ini, di mana di sini beliau dikenal sebagai Bhatara Gnijaya. Hingga saat ini masih sangat sulit untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang secara jelas. Soalnya data-data yang kuat sukar didapatkan.
Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur, yakni Pura Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Ada sebuah informasi berdasarkan pemotretan dari angkasa luar, di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat terang. Paling terang dibandingkan bagian lainnya. Namun tak diketahui pasti dari kawasan mana sinar itu, tetapi diduga dari Gunung Lempuyang.
Soal arti dari Lempuyang, ada berbagai versi. Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul ''Lempuyang Luhur'' disebutkan, lempuyang berasal dari kata ''lampu'' artinya sinar dan ''hyang'' untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang (mencorong/menyorot). Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Versi lain menilik ''lempuyang'' sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri. Di Jawa lempuyang itu menunjuk sejenis tanaman untuk bumbu. Hal itu juga dikaitkan ada banjar di sekitar Lempuyang bernama Bangle dan Gamongan, keduanya juga tanaman sejenis yang bisa dipakai obat atau bumbu. Versi lain juga menyebut dari kata ''empu'' atau ''emong'' yang diartikan menjaga. Batara Hyang Pasupati mengutus tiga putra-putrinya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai gunjangan bencana alam. Ketiga putra-putri itu yakni Bathara Hyang Putra Jaya berstana di Tohlangkir (Gunung) Agung dengan parahyangan di Pura Besakih, Batari Dewi Danuh berstana di Pura Ulun Danu Batur dan Batara Hyang Gni Jaya di Gunung Lempuyang.
Namun, apa pun versi dari lempuyang itu, Pura Lempuyang sendiri memiliki status yang sangat besar, sama seperti Besakih. Baik dalam konsep padma buwana, catur loka pala atau pun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Lempuyang.
Pura Lempuyang Luhur yang terletak sangat tinggi di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang itu, diduga termasuk pura paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu.
Pada sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon. Di bagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tak ada diduga tumbang atau mati. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar, sebuah padma tunggal bale piyasan. Kini, pemugaran dan pemugaran pura kian meningkat.
Mengutif sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi -- pemangku di pura itu -- mengatakan orang Bali apa pun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini. Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bisa tak pernah menemukan kebahagiaan, kerap cekcok dengan keluarga atau masyarakat dan bahkan pendek umur.
Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut: ''Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa.''
Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.
Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. ''Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya,'' ujar Jero Mangku.  
Pengayah 
Saat pujawali tak terlalu besar pengayah. Biasanya dari Desa Pakraman Purwayu saja. Namun, jika pujawali besar seperti Batara Turun Kabeh dan Batara Masucian ke Segara, pengayah turun dari enam desa pakraman di sekitarnya, seperti Purwayu, Segeha, Basangalas, Ngis, Tista dan Gulinten.
Pada pujawali, pengayah ngamedalang Ida Batara dari pasimpenan di dekat areal parkir pertama. Ida Batara kapundut teruna (pemuda) dan krandan (remaja putri). Sebelum ngayah, mereka mesti mabyakawon (mensucikan diri) di areal Pura Pesimpenan. Ida Batara kairing ke bale piasan Pura Penataran untuk mahias, lalu masucian ke Pura Telaga Mas, kairing munggah ke Pasar Agung dan masandekan sebentar. Berikutnya, barulah kairing ke Luhur dan kalinggihang, kaaturan panyejer tiga hari. Pujawali tiap enam bulan yakni puncaknya pada Wraspati Umanis Dunggulan.
Langgar Pantangan
Sejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Saat naik ke Lempuyang Luhur, kata Jero Mangku Gede Wangi, sejak awal pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan. Tak boleh berkata kasar saat perjalanan.
Selain itu, orang cuntaka, wanita haid, menyusuai, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke pura setempat. Jero Mangku mengatakan, pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ''Saya dengar salah seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi saran itu tak gubris,'' ujar Jero Mangku.
Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawa perhiasan emas. Soalnya, umat yang menggunakan perhiasan emas, perhiasan itu kerap hilang misterius. ''Membawa atau makan daging babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak dilakukan, karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang, hampir sama dengan ke Pura Luhur Batukaru.
Jero Mangku mengatakan, masyarakat dan umat yang naik ke Gunung Lempuyang diharapkan tak berbuat buruk, seperti mengambil tanaman, melakukan corat-coret di jalan atau di pura. ''Sampah terutama sampah plastik hendaknya dibawa atau dibuang di tong sampah yang tersedia. Berbakti kepada Tuhan bukan cuma lewat sembahyang, tetapi juga dengan jalan karma marga seperti menjaga kebersihan lingkungan alam atau pura,'' katanya.
Jero Mangku mengatakan, belum pernah ada orang yang menghitung pasti berapa sebenarnya jumlah tangga naik ke Pura Luhur yang berketinggian lebih dari 1.174 meter. Ada yang mengatakan 1.750 tangga, ada juga yang mengatakan 1.800.
Masyarakat setempat mengatakan, cuma bersembahyang --insidental -- ke Pura Lempuyang Luhur disebutkan tak harus melakukan pelukatan saat masuk pura. Soalnya, selain ke Lempuyang Luhur umat bisa melukat di pesucian Telaga Mas, saat naik menuju Pura Luhur yang tinggi berbagai kotoran tubuh juga berangsur disucikan. Soalnya, ribuan kali menghela napas seperti saat pranayama, keringat keluar. ''Sembahyang sampai ke Pura Lempuyang Luhur merupakan pendakian spiritual. Umat yang benar-benar niatnya kuat dilandasi Tri Kaya Pasisudha yang mampu dengan mudah mampu mencapai Pura Luhur. Jika ragu-ragu atau tak tulus bisa terjadi halangan, seperti kepayahan bahkan terjatuh di jalan,'' ujar Arnawa. 
Empat Jalur
Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura Lempuyang Luhur. Berdasarkan buku yang disusun Dinas Kebudayaan Bali (1998), bisa lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bisa melewati Pura Penyimpenan, Penataran Agung, Telaga Mas, Pasar Agung barulah ke Lempuyang Luhur.
Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang dan Pura Pasar Agung. Sementara dari Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung (panyawangan) terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir melewati Banjar Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur.
Foto Pura Lempuyang



KETUT WINDU RATNASARI (1211031272)
NI MADE DWI GAYATRI (1211031274)
NYOMAN SUPRABAWA (1211031278)
MADE SUWARIYASA (1211031284)
KADEK SERIJANA (1211031286)


JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014

Rabu, 19 Maret 2014

PURA KENTEL GUMI

PURA KENTEL GUMI
PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU


Pura Agung Kentel Gumi sebagai salah satu Triguna Pura atau Kahyangan Tiga Bali, memiliki beberapa kelompok pura. Pura Kentel Gumi terletak di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Pura Agung Kentel Gumi didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Babad Bendesa Mas. Dalam lontar tersebut dinyatakan atas kehendak Mpu Kuturan didirikanlah Pura Penataran Agung Padang di Silayukti, Pura Gowa Lawah, Pura Dasar Gelgel, Pura Klotok dan Pura Agung Kentel Gumi.
Hal ini mengandung makna bahwa kehidupan di bumi akan tegak atau ajeg apabila dilakukan kesadaran rohani. Pura Silayukti di Padang, Karangasem itu adalah Asrama Mpu Kuturan. Fungsi asrama adalah untuk mendidik dan melatih umat mendapatkan pemahaman akan kerohanian.


Hiranyagarbhah samavartatagre
Bhutasya jatah patireka asit,
Sa dadhara prthivim dyam utemam
Kasmai devaya havisa vidhema (Rgveda X.121.1)

Maksudnya:
Tuhan Yang Mahaesa yang menguasai planet ada dalam diri-Nya. Tuhan itu mahatunggal sebagai pencipta segala. Tuhanlah sebagai penyangga bumi dan langit, sebagai dewata tertinggi sumber kebahagiaan yang suci, kami persembahkan doa kebaktian dengan ketulusan hati.

            Menegakkan bumi dimaksudkan menegakkan kebenaran dengan perilaku mulia. Perilaku mulia menegakkan bumi ini diawali dengan meyakini bahwa Tuhanlah sebagai pencipta dan penyangga bumi dan langit. Tujuan Tuhan menciptakan bumi dan langit adalah sebagai wadah kehidupan semua makhluk terutama manusia untuk memperbaiki kualitas perilakunya. Mengawali perbaikan kualitas perilaku dengan meningkatkan pemujaan pada Tuhan dengan doa persembahan.
Demikianlah Pura Kentel Gumi didirikan untuk menegakkan kualitas perilaku di bumi. Kentel Gumi sama dengan istilah dalam bahasa Bali yaitu enteg gumi yang maknanya tegaknya stabilitas keharmonisan hidup di bumi ini. Pura Goa Lawah adalah pura untuk mendapatkan pemahaman akan kedudukan dan fungsi samudera. Samudera kena sinar matahari berproses menjadi mendung. Mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh hutan yang tumbuh di gunung. Proses alam itulah yang menyebabkan terjadinya kesejahteraan. Karena itu Pura Goa Lawah disebut stana Tuhan sebagai Hyang Basuki atau Batara Telenging Segara. Basuki artinya rahayu atau selamat.
Sementara Pura Dasar Gelgel adalah tempat suci untuk mempersatukan umat berdasarkan kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan untuk bereksistensi sesuai dengan swadharma masing-masing. Pelinggih leluhur berbagai warga di Pura Dasar Gelgel untuk mengingatkan pada pemujaan roh suci leluhur (Dewa Pitara), bukan untuk membeda-bedakan harkat dan martabat manusia.
Pura Klotok adalah tempat memohon Tirtha Amerta Kamandalu (air suci kehidupan) sebagai puncak dari prosesi ritual melasti. Hal itulah sebagai simbol yang melukiskan jalannya kehidupan untuk mencapai Kentel Gumi atau tegaknya kehidupan. Itulah warisan zaman Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi. Dalam Lontar Purana Pura Agung Kental Gumi diceritrakan perjalanan seorang raja dari Tegal Suci Mekah menuju Bali atau Bangsul. Sampai di Desa Tusan, Klungkung, Raja berkehendak mendirikan pemujaan.
            Salah seorang pengikut Raja bernama Arya Kenceng ditugaskan mewujudkan kehendak sang Raja. Untuk itu maka didirikanlah Meru Tumpang 11, Padmasana, Meru Tumpang 9 stana Batara Maha Dewa, Meru Tumpang 7 stana Batara Segara, Meru Tumpang 5 stana Batara di Batur, Meru Tumpeng 3 stana Batara Ulun Danu dan pelinggih Basundhari Dasa.
Adanya nama Arya Kenceng dalam Lontar Purana Pura Agung Kentel Gumi sebagai pengikut Raja sangat besar kemungkinannya peristiwa itu terjadi abad ke-14 Masehi saat ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Nama Arya Kenceng atau Arya Ken Jeng menurut Lontar Babad Tabanan adalah seorang kesatria dari Kauripan (Kediri, Jawa Timur) yang bersaudara dengan Arya Dharma, Arya Sentong, Arya Kuta Waringin, dan Arya Belog. Adanya nama tempat Tegal Suci Mekah kemungkinan nama Pulau Jawa pada abad ke-14 Masehi itu. Jadi, Pura Kentel Gumi mungkin diperluas saat raja keturunan Raja Sri Kresna Kepakisan berkuasa di Bali.
Setelah pemerintahan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten berakhir atas ekspedisi Gajah Mada ke Bali maka yang memegang tampuk pemerintahan di Bali adalah keturunan Sri Kresna Kepakisan. Kekuasaan raja dari Jawa ini baru stabil atau kentel saat berpusat di Klungkung. Pada mulanya pusat kerajaan di Samprangan, Gianyar terus pindah ke Gegel. Dari Gelgel lanjut pindah ke Semarapura atau Klungkung. Perpindahan pusat kerajaan ini menandakan keadaan kerajaan tidak stabil karena banyak gangguan.
Setelah pusat kerajaan berada di Klungkung inilah keadaan kerajaan baru stabil artinya keadaan gumi Bali menjadi kentel. Kemungkinan istilah enteng gumine dalam bahasa Bali yang sangat populer sampai sekarang di Bali berasal dari zaman stabilnya keadaan Bali di abad ke-14 Masehi itu. Keadaan stabil itu mungkin baru dapat diwujudkan setelah adanya perhatian pada Pura Agung Kentel Gumi yang memang sudah ada sejak zaman Mpu Kuturan.
Pura Kentel Gumi ini di bagian jeroan pura ada tiga kelompok pura. Ada kelompok Pura Agung Kentel Gumi, kelompok Pura Maspahit, dan kelompok Pura Masceti. Seluruh kelompok pura inilah yang disebut Pura Agung Kentel Gumi. Pada kelompok Pura Kentel Gumi ini pelinggih yang paling utama adalah Meru Tumpang 11 sebagai stana Batara Sakti Kentel Gumi yaitu Tuhan yang dipuja sebagai pemberi stabilitas kerajaan dalam arti luas. Pelinggih Pesamuan Agung berbentuk Meru Tumpang 11 sebagai pesamuan Batara di sebelah pura di Pura Agung Kentel Gumi.
Balai Mudra Manik sebagai tempat untuk menstanakan pralingga dari sebelah pura di sekitar Pura Agung Kentel Gumi. Ada pelinggih Sanggar Agung Rong Telu stana Mpu Tri Bhuwana yaitu pemujaan Tuhan sebagai Parama Siwa, Sadha Siwa dan Siwa. Ada pelinggih Manjangan Saluwang sebagai stana rohani Mpu Kuturan. Ada pelinggih Catur Muka sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Di kelompok Pura Kentel Gumi ini ada berbagai pelinggih pesimpangan. Ada Pesimpangan Jambu Dwipa sebagai pelinggih Batara Maspahit. Pesimpangan Batara Ulun Danu, Batara di Batur. Ada pesimpangan Batara Gunung Agung berbentuk pelinggih Meru Tumpang 9. Pesimpangan Ratu Segara dan banyak lagi pesimpangan sebagaimana layaknya Pura Kahyangan Jagat umumnya. Pada kelompok Pura Maspahit ada pelinggih Gedong Bata dengan arca manjangan untuk mengingatkan kedatangan Mpu Kuturan ke Bali.
Selebihnya sebagai pelinggih pesimpangan. Demikian juga kelompok Pura Masceti ada Pesimpangan Dewa Sadha Siwa dan Siwa, Gunung Agung, Batara Segara dan Ngerurah dan Kemulan Bumi. Upacara Piodalannya setiap Weraspati Manis Wuku Dungulan atau Umanis Galungan. Pura Kentel Gumi merupakan salah satu bagian terpenting dari keberadaan Pura-pura di Bali. Pura yang berlokasi di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung itu memiliki peran strategis untuk mengamankan jagat Bali dari berbagai marabahaya.
Dengan posisinya yang berada di tengah-tengah (pusaran), Pura Kentel Gumi selain merupakan pusat dari Pura-pura yang ada di Bali, bahkan Jawa, juga merupakan sumber penghidupan masyarakat Bali. Setiap enam bulan sekali, ribuan umat Hindu pedek tangkil memadati Pura Kentel Gumi. Bukan saja umat pengempon/pengeling pura yang berasal dari Banjarangkan dan sekitarnya, melainkan dari seluruh pelosok Bali. Mereka berduyun-duyun datang ke pura yang pada zamannya (abad XI) dikuasai para raja Bali itu, untuk bersembahyang serangkaian dengan piodalan.
Piodalan di pura ini berlangsung pada Weraspati Umanis Dunggulan, setiap 210 hari sekali. Bukti bahwa Pura Kentel Gumi merupakan pusat pura dan sumber penghidupan masyarakat Bali, terlihat dari keberadaan pelinggih-pelinggih atau pura-pura besar yang ada di Bali dan Jawa yang dibangun di pura tersebut.
Diantaranya sejumlah pura ada di sini. Makanya Kentel Gumi diartikan sebagai pusat atau sumber dari segalanya. Pura Kentel Gumi tetap tidak dapat dipisahkan dari satu-kesatuan Tri Kahyangan (Besakih, Batur dan Kentel Gumi). Setiap desa pakraman di Bali selalu memiliki Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Begitu juga dalam konteks Bali, Pura Kentel Gumi merupakan Pusehnya, Besakih merupakan Dalem dan Batur sebagai Pura Desanya.
Pura yang berdiri di atas lahan seluas lima hektar itu terdiri atas dua bagian. Awalnya, pura tersebut hanya berupa gedong dan bale pesamuan yang berada di bagian Maos (Mas) Pahit. Yang pertama kali bermukim di bagian itu adalah Mpu Kuturan (abad XI). Mpu Kuturan bermukim dan kemudian membentuk sekaligus mengembangkan berbagai peraturan. Entah kenapa, pada bagian itu Mpu Kuturan tidak melengkapi pura tersebut dengan Padmasana. Baru pada zaman Raja Kresna Kepakisan pura itu dilengkapi dengan Padmasari dengan lokasi di bagian selatan Maos Pahit. Juga dilengkapi dengan Pura Sadha, Gunung Agung, Besakih dan lainnya sebagaimana disebutkan di atas.
Meski demikian, kedua lokasi itu selalu bersatu padu dalam setiap pelaksanaan upacara. Setelah itu, seiring dengan perkembangannya, keberadaan pura itu dikuasai oleh raja-raja yang saat itu berkuasa di Bali. Terutama Kerajaan Klungkung (pergeseran Kerajaan Gelgel) sebagai pusat kerajaan di Bali pada zaman itu. Setelah Kerajaan Klungkung runtuh pada tahun 1677 (pertengahan abad XVII), kekuasaan di Bali selanjutnya terpecah belah. Tidak lagi terletak di bawah satu pimpinan (Kerajaan Klungkung).
Begitu juga dengan Pura Kentel Gumi, bukan hanya dikuasai Raja Klungkung, tetapi juga pernah dikuasai Raja Gianyar. Sumanggen Keunikan lain Pura Kentel Gumi yakni keberadaan sebuah bangunan sumanggen. Bangunan tersebut biasanya terdapat di puri yang dimanfaatkan untuk upacara pitra yadnya maupun manusa yadnya. Keberadaan sumanggen itu sendiri berawal dari seorang putri Raja Klungkung yang sakit. Sang putri menjalani pengobatan pada Dukuh Suladri di Tamanbali, Bangli. Selama dalam pengobatan, sang putri menetap di Bangli. Hingga akhirnya jatuh cinta dengan seorang putra Dukuh Suladri. Lama menjalin asmara, putri raja dan putra dukuh dinikahkan.
Sebagaimana layaknya suami-istri umumnya, putri dan putra dukuh silih berganti mengunjungi mertua masing-masing. Hingga suatu saat, dalam perjalanan menuju Bangli (persisnya di depan Pura Kentel Gumi) sang putri mengalami keguguran. Mayat sang bayi kemudian disemayamkan di sekitar pura tersebut (tentu dengan kondisi belum sebagus sekarang). Keberadaan sumanggen itu kemungkinan ada kaitannya dengan konsep tata ruang puri. Mengingat, Pura Kentel Gumi dikuasai oleh raja-raja yang berkuasa.
Sebagaimana konsep puri, setiap areal puri harus dilengkapi dengan bangunan sumanggen. ”Terkait keberadaan sumanggen di Kentel Gumi saat ini, fungsinya sebagai tempat upakara. Kalau ada tamu penting yang pedak tangkil atau ada kegiatan upacara, bangunan itu juga bisa dimanfaatkan untuk penyimpanan sanganan. Pantangan bagi yang Berniat Jahat Kalau punya pikiran yang macam-macam, jangan coba-coba masuk ke areal Pura Kentel Gumi. Sebab, setiap pikiran jahat itu akan segera terdeteksi dan tidak akan mudah untuk menyembunyikannya.
Dari penuturan pegempon/pengeling, Pura Kentel Gumi sangatlah tenget. Siapa pun yang berbuat curang, akan sangat mudah diketahui apabila nunasin (mohon petunjuk) di pura yang notabene tempat berstananya para dewa-dewa itu. ”Jangan coba-coba berani bersumpah di pura ini (Kentel Gumi) kalau memang melakukan kesalahan. Lebih baik mengakui kesalahan itu terlebih dahulu, karena sumpah yang dilakukan di sini sangat manjur,” sebut seorang pengempon pura yang ditemui saat kerja bakti membersihkan areal pura usai tawur pakelem beberapa waktu lalu.
Diceritakan, beberapa tahun silam ada sesorang yang berupaya melakukan niat jahat di pura tersebut. Orang itu mencoba membakar atap bale agung yang terbuat dari alang-alang. Meski terbuat dari bahan yang sangat mudah terbakar, upaya jahat orang itu tidak kesampaian, karena api tidak menjalar ke mana-mana. Karena niat jahatnya tidak terlaksana maksimal, orang itu pun putus asa. Dalam ketidaksadarannya, justru dia mengakui perbuatannya di hadapan warga. Sehingga warga tidak lagi bersusah payah mengejar orang yang berniat menghanguskan pura tersebut.
Tidak ada pantangan bagi siapa pun yang ingin masuk, apalagi bersembahyang di Pura Kentel Gumi. Dengan catatan, tidak punya niat jahat dan berperilaku serta berpenampilan yang wajar. (bal) Tawur Pakelem dengan Upakara Nyanggar Tawang Dari tahun ke tahun, perkembangan selalu diikuti dengan berbagai kejadian. Berbagai peristiwa yang mengancam keberadaan Bali kerap terjadi. Bom Bali I dan II, perkelahian antarbanjar dan berbagai kerusuhan serta kejadian lainnya, muncul silih berganti mewarnai kehidupan warga di pulau seribu pura ini.
Makanya, untuk mengembalikan jagat Bali sebagai alam yang bersih dan suci tanpa noda, untuk pertama kalinya Pemerintah Propinsi Bali menggelar upacara tawur pakelem, Rabu (29/3) lalu. Hal itu dilakukan sebagai upaya penebusan segala kebingaran yang terjadi saat ini. Upacara dengan upakara nyanggar tawang itu pun dipusatkan di Pura Kentel Gumi. Tentunya dengan berbagai pertimbangan, yakni Kentel Gumi yang notabene sebagai sumber pura dan pusat penghidupan serta sebagai pusat berstananya sebagaimana tercermin dari 25 arca yang terdapat dalam pelinggih ratu arca.
Arca-arca itu sebagai perwujudan para dewa seperti Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, Durga, Ghanapati, Lingga dan banyak lagi patung-patung yang tidak dapat dinyatakan wujudnya. Tawur pakelem menggunakan sarana kerbau, kambing, angsa dan bebek. Untuk di Pura Kentel Gumi sendiri, sarana pakelem itu dikubur hidup-hidup di dalam areal pura. Beda dengan pakelem lain yang dirarung (dihanyut) di tengah laut. ”Itu merupakan perlambang kelahiran yang dikembalikan dengan segala kekurangan dan kelebihan ke tempat asalnya.
Selain di Kentel Gumi, tawur pakelem juga dilaksanakan secara serentak di Pura Besakih dan Angkasa Pura, Tuban. Dirangkai dengan upacara tawur kesanga serangkaian pengerupukan menjelang hari raya Nyepi. Upacara itu di-puput tiga sulinggih yaitu, Pedanda Siwa dari Dawan Kaler, Pedanda Budha dari Buda Wanasari Karangasem dan Sri Mpu Pujangga dari Keramas Gianyar.


Gambar Pura Kentel Gumi

























KETUT WINDU RATNASARI (1211031272)
NI MADE DWI GAYATRI (1211031274)
NYOMAN SUPRABAWA (1211031278)
MADE SUWARIYASA (1211031284)
KADEK SERIJANA (1211031286)


JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014

Kamis, 06 Maret 2014

Pura Tirta Empul,Tampaksiring,Gianyar.



 LAPORAN OBSERVASI DI PURA TIRTA EMPUL TAMPAKSIRING







DOSEN PENGAMPU
I Wayan Widiana.S.Pd.M.Pd
MATA KULIAH
Agama Hindu
OLEH :
Kelas : H
SEMESTER : IV

Ni Ketut Windu Ratnasari (1211031272)
Ni Made Dwi Gayatri. (1211031274)
Nyoman Suprabawa (1211031278)
Made Suwariyasa (1211031284)
Kadek Serijana (12110386)




JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS  ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2014
i
DAFTAR ISI

1.        Temuan selama observasi di Pura Tirtha Empul
1.1.         Sejarah Desa Tampak Siring
1.2.         Geografi
1.3.         Struktur kepengurusan Desa adat Manukaya
1.4.         Lokasi Pura Tirtha Empul
1.5.         Sejarah Pura Tirtha Empul
1.6.         Struktur Pura Tirtha Empul
1.7.         Status dan upacara
1.8.         Jenis peninggalan purbakala
1.9.         Larangan – larangan ( Etika masuk Pura Tirtha Empul)
1.10.    Waktu yang baik untuk melukat(melebur)
2.       Bentuk dan manfaat Tirtha yang terdapat di taman suci Tirtha Empul
2.1.         Bentuk pancaka Tirtha taman suci Pura Tirtha Empul
2.2.         Fungsi Pura Taman dalam penyucian





 

TEMUAN DAN PEMBAHASAN
OBSERVASI DI PURA TIRTA EMPUL DI DESA  MANUKAYA TAMPAKSIRING

1. Temuan Selama Observasi
1.1  Sejarah Desa Tampaksiring
              Desa Manukaya merupakan sebuah desa tua dengan ditemukannya  bukti-bukti peninggalan kuno atau kepurbakalaan, berupa batu tertulis yang sampai kini tersimpan di Pura Sakenan di Banjar/Dusun Manukaya Let. Pada batu tersebut disebutkan bahwa pendirian Pura Tirta Empul pada jaman pemerintahan Raja Kesari Warmadewa. Adapun isi perasasti Sakenan Manukaya disebutkan sebagai berikut : Candra-Bhaya-Singa-Warmadewa. Baginda inilah yang membangun telaga (tempat mandi). Di Desa Manuk Raya yang sekarang disebut Manukaya. Telaga itu hingga kini masih ada dengan dinamai Tirtha Empul, yakni diatas Desa Tampaksiring. Adapun batas-batas desa Manukaya adalah sebagai berikut : sebelah utara Dusun Susut (Kab. Bangli), di sebelah timur Desa Tiga (Kab. Bangli), di sebelah selatan Desa Tampaksiring (Kab. Gianyar) dan di sebelah barat Dusun Pupuan Tegalalang (Kab. Gianyar). Dalam legenda Mayadanawa yang masih dihayati oleh masyarakat di sana terjadinya Desa Manukaya.
              Pura Tirta Empul terletak di sebuah lembah sebelah timur Desa Tampaksiring di kelilingi perbukitan dan persawahan yang bertingkat-tingkat. Tirtha Empul (sumber air) terdapat bagian dalam pura di wewidangan madya mandala pura. Dari sumber air itulah mengalir air yang keluar dari pancoran-pancoran yang memiliki mana dan fungsi dalam berbagai upacara di daerah itu. Di sebelah barat sumber air itu berdiri Istana Presiden Tampaksiring yang sangat asri.
              Secara etimologi, Tirta Empul berasal dari dua kata, yaitu Tirtha yang berarti “Air Suci” dan Empul yang berarti “Mata Air” (kelebutan) atau “Muncrat” (menyembur). Berdasarkan legenda, air ini muncrat karena panah Bhatara Indra saat berperang melawan Raja Mayadanawa. Mayadanawa dikatakan sebagai raja yang sangat sakti yang menganggap dirinya sebagai Dewa. Ia memerintah seluruh rakyat di wilayah kekuasaannya untuk bersembahyang menyembah kepadanya. Atas kelakuannya itu Bhatara Indra sangat marah. Beliau selanjutnya mengirim pasukannya utuk membunuh Raja Mayadanawa.
              Pada zaman itu, ada seorang pendeta bernama Mpu Sangkul Putih yang memiliki kekuatan magis sangat sedih melihat keadaan ini. Kemudian Sang Empu bersemadi di Pura Besakih untuk memohon kehadapan Tuhan  agar mampu mengatasi kekacauan dalam kehidupan masyarakat Bali, yang diakibatkan oleh keangkuhan/kesombongan rajanya. Empu Sangkul Putih kemudian mendapat tuntunan dari Hyang Mahadewa untuk pergi ke Jambu Dwipa (India) untuk minta bantuan kepada Dewa Pasupati.
              Diceritakan bahwa Dewa Indralah yang memimpin pasukan dari surga, dengan persenjataan yang lengkap datang ke Bali. Dalam penyerangan itu, Citrasena dan Citragada memimpin pasukan pada sayap kanan, dan Sang Jayantaka memimpin sayap kiri sedangkan Gandarwa memimpin pasukan utama. Bhagawan Narada dikirim untuk memata-matai istana Mayadanawa. Mayadenawa mengetahui krajaannya akan diserang oleh pasukan Bhatara Indra melalui beberapa mata-mata yang disebarnya, maka Mayadenawa mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi serangan pasukan dari surga. Perang yang mengerikan tidak terelakkan yang menyebabkan beberapa korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun, karena pasukan Bhatara Indra lebih kuat, akhirnya pasukan Mayadanawa melarikan diri dan meninggalkan rajanya dan pembantunya yang bernama Sri Kala Wong.  Karena menjelang petang perangpun dihentikan.
              Pada malam hari, saat pasukan dari surga tertidur lelap, Mayadanawa membuat air beracun dekat tempat tidur tentara Dewa Indra. Ia meninggalkan tempat itu, dengan berjalan dengan sisi kaki miring untuk menghilangkan jejak. Tempat itu akhirnya disebut dengan Tampaksiring, yang berasal dari kata bahasa Bali yaitu Tampak yang berarti “Jejak” dan siring yang berarti “Miring/condong”.
              Pada keesokan harinya, pasukan dari surga bangun dari tidurnya dan minum air yang dibuat oleh Mayadanawa. Akibatnya semua pasukan Dewa Indra itu mati.  Melihat semua pasukannya meninggal, Dewa Indra segera mencipta air dengan menancapkan tombak ke tanah. Selanjutnya keluarlah air yang amat besar. Para apsara minum dan mandi dengan senangnya. Bhatara Indra menggunakan air ciptaannya itu untuk memerciki pasukannya yang telah meninggal. Merekapun hidup kembali untuk melanjutkan peperangan dengan Mayadanawa. Bhatara Indra dan pasukannya terus memburu Mayadanawa yang telah melarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelariannya itu ia mengubah dirinya menjadi “Manuk Raya” (burung besar). Tempat itu sekarang dikenal dengan Desa Manukaya.
              Mayadanawa tidak dapat mengatasi kesaktian Bhatara Indra. Ia mengubah dirinya berkali-kali seperti menjadi buah timbul (sejenis sukun), busung (janur), susuh, bidadari dan akhirnya menjadi batu. Tempat-tempat Mayadanawa mengubah dirinya menjadi buah timbul sekarang disebut Desa Timbul. Tempat ia mengubah dirinya menjadi busung (janur) disebut Desa Blusung. Desa tempat ia merubah diri manjadi bidadari (mahluk kahyangan) disebut Desa Kendran. Akhirnya Bhatara Indra dapat membunuh Mayadanawa darahnya mengaliri sungai Petanu. Sungai itu dikutuknya jika airnya dipakai mengaliri sawah, padinya akan tumbuh cepat tetapi saat dipanen, bulir-bulir padi itu mengeluarkan darah yang berbau busuk. Kutukan itu akan berakhir dalam jangka waktu seribu tahun. Air sungai Petanu tidak diperbolehkan untuk diminum, mandi dan irigasi, karena tercemar oleh darah Mayadanawa (Subaga, 1968 : 98).
              Kematian Raja Mayadanawa merupakan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma). Hari kemenangan itu dirayakan setiap enam bulan (210 hari) sekali sebagai Hari Raya Galungan. Dengan kesaktian yang dimiliki oleh Mayadanawa yang dapat mengubah dirinya menjadi berbagai benda, masyarakat tidak gampang percaya bahwa Raja Mayadanawa itu benar-benar mati. Untuk mengatasi rasa takut masyarakat, pernyataan resmi dibuat sepuluh hari kemudian yakni pada Hari Raya Kunungan. Istilah Kuningan kemungkinan etimologinya dari kata Nguningang yang berarti mengumumkan suatu agar diketahui oleh masyarakat luar.
              Versi lain dari Galungan adalah penghormatan kepada roh leluhur yang turun dari kahyangan ke mercapada (dunia ini). Kuningan adalah upacara penghormatan untuk Mewali (Kembali ke Kahyangan). Masyarakat di Tampaksiring percaya bahwa Tirtha Empul merupakan kemurahan khusus atau Paica yang diberikan oleh Dewa Indra. Airnya dipercaya memiliki khasyat dapat menyembuhkan beberapa penyakit baik medis (terutama penyakit kulit), yang digunakan dalam berbagai upacara karena itu banyak masyarakat dari luar daerah itu memohon keselamatan. Air Empul mengaliri Sungai Pakerisan. Sepajang aliran sungai itu, banyak ditemukan peninggalan arkeologi (Purbakala).

1.2  Geografi
              Desa Manukaya terdiri dari 12 dusun (dinas) dan sepuluh Desa Adat. Ke 13 dusun tersebut adalah : Dusun Manukaya Let, Dusun Manukaya Anyar, Dusun Tatag, Dusun Bantas, Dusun Malet, Dusun Penempahan, Dusun Mancingan, Dusun Penedengan, Dusun Basangambu, Dusun Belahan, Dusun Keranjangan dan Dusun Temen. Adapun batas-batasnya adalah sebagai berikut :
Sebelah utara : Dusun Susut (Kabupaten Bangli), sebelah timur : Desa Tiga (Kabupaten Bangli), sebelah selatan : Desa Tampaksiring (Kabupaten Gianyar) dan sebelah barat : Dusun Pupuan Tegalalang (Kabupaten Gianyar).
              Desa Manukaya berlokasi satu kilometer dari ibu kota kecamatan, 18 kilometer ke ibu kota kabupaten dan 35 kilometer ibukota propinsi. Waktu tempuh dari ibukota kabupaten adalah 60 menit dan dari ibukota propinsi lebih kurang 1,5 jam.          
              Luas wilayah Desa Manukaya adalah 14,96 km2, yang terdiri atas 141,00 sawah, 871,75 tegalan (kebun), 6,97 pekarangan, keadaan fotografi Desa Manukaya termasuk dataran tinggi 700-800 meter dari permukaan laut. Desa Manukaya memiliki curah hujan 280 mm/tahun dengan suhu yang sedang.
              Jalan-jalan yang menghubungkan banjar satu ke banjar yang lain tergolong baik dan teraspal (pengerasan). Desa Manukaya dilalui oleh jalan negara khususnya Banjar Basangambu sampai dengan Bajar Temen yang yang berbatasan dengan Kabupaten Bangli. Desa Tampaksiring ke Desa Manukaya juga dihubungkan oleh jalan negara yaitu menuju Istana Negara Tampaksiring, sehingga transportasi menjadi lancar.






1.3  Struktur Kepengurusan Desa Adat Manukaya
- Bendesa Adat Tirta Empul                       :  Made Mawi Arnatha
- Penyarikan Desa Adat Tirta Empul          :  Made Kuntung
   (Bendahara)
- Penyarikan Tempekan Manukaya             :  Ketut Sandra
- Penyarikan Tempekan Tatag                     :  Ketut Beratha
- Penyarikan Tempekan Bantas                   :  Wayan Winada
Dibantu oleh masing-masing Dusun antara lain : Manukaya  : Made Kuntung, Tatag : Made Yatna dan Dusun Bantas oleh Made Sarna. Perangkat kepengurusan Tambahan antara lain : Pemangku 3 orang, sekeha gong 60 orang, sekeha baris (baris bedil, baris tombak) 120 orang, sekeha Rejang 50 orang dan pecalang 50 orang berasal dari Desa Manukaya Let dan Bantas.

1.4  Lokasi Pura Tirtha Empul
              Tirta Empul terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Daerah Tingkat II Gianyar. Jarak kota Kecamatan Tampaksiring dari Tirta Empul 3 Km, dari kota Gianyar 15 Km dan 40 Km dari kota Denpasar. Dengan mengendarai sepeda motor Pura Tirta Empul dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 60 menit (1 jam) dari kota Denpasar menuju kota Gianyar, ke Mas, Bedulu dan ke Pejeng sehingga tercapai Pura Tirta Empul. Luas Pura Tirta Empul kurang lebih 3 Ha secara keseluruhan bidang tanah yang menjadi komplek pura tersebut.
              Batas-batas Pura Tirta Empul sebagai berikut : disebelah utara tanah tegalan milik masyarakat, disebelah timur mengalirnya sungai Pakerisan dengan air yang jernih (Pura Pegulingan/Banjar Basang Ambu), sebelah selatan diberikan kios-kios dan sebelah barat dibatasi oleh Istana Kepresidenan Republik Indonesia masa pemerintahan presiden Soekarno.
              Dengan dinaungi oleh pepohonan yang rindang dan udara yang sangat segar, terpadu dengan panorama, disandingi oleh suara burung, gemercikan air pancuran yang membiaskan rasa dan kedamaian, mencerminkan kepuasan hati yang lega. Banyak umat berdatangan bukan hanya sekedar berekreasi melainkan bertirtayatra yaitu menyucikan, mengheningkan diri baik sekala maupun niskala.
1.5 Sejarah Tirta Empul
              Pura Tirta Empul sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Hindu di Bali bahkan sudah sampai di kalangan wisatawan nusantara maupun mancanegara. Tirta Empul sebagai salah satu tujuan wisata sudah masuk ke dalam kalender perjalanan wisata daerah khususnya di Bali. Hampir setiap biro perjalanan wisata yang ada di Bali senantiasa mencantumkan Tirta Empul sebagai satu obyek yang harus disinggahi terutama paket tour yang berada di Bali tengah (Denpasar-Tampaksiring-Kintamani).
              Tirta Empul terletak di sebelah barat Tukad Pakerisan, sedangkan disebelah barat pura terdapat bukit kecil dimana di bukit itu berdiri dengan megahnya Istana Kepresidenan Tampaksiring yang digagas oleh Presiden Soekarno. Sebagaimana namanya pura ini mempunyai sumber mata air yang sangat jernih dan debit air yang cukup tinggi. Mata air ini oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kekuatan yang dapat memberikan kehidupan dan kemakmuran. Mata air suci ini terletak di bagian timur jaba tengah pura, dari mata air ini sebagian dialirkan ke sawah, jaringan irigasi, yang dapat mengiri sawah yang cukup luas di desa Pejeng dan dialirkan ke sebuah kolam pemandian yang ada di sebelah selatan dan sebagian lagi dialirkan ke Tukad Pakerisan yang jaraknya hanya beberapa meter.
              Pandangan yang begitu kuat di kalangan masyarakat maka tidak sembarangan orang dapat masuk ke areal kolam. Masa berikutnya lalu dilengkapi dengan bangunan suci sehingga menjadi sebuah pura yang bernama Pura Tirta Empul. Hal ini menandai ada perubahan dalam sistem kepercayaan masyarakat dari bentuk pemujaan yang sangat sederhana menuju kepada bentuk yang komplek sesuai dengan dasar-dasar arsitektur nasional yang dilandasi oleh agama Hindu. Itulah sebabnya dalam pura ini terdapat perpaduan yang harmonis antara konsep pura dengan bangunan tradisional dan konsep taman.
              Dimasa lalu di depan pura ini adalah sebuah kolam pemandian umum dilengkapi warung souvenir. Namun karena adanya penataan kembali lingkungan pura ini maka kolam beserta warung-warung souvenir itu telah dipindahkan ke arah timur sehingga memberi nilai keindahan tersendiri bagi objek tersebut.
              Pura Tirtha Empul merupakan depresentasi dari Pura Taman yang dikembangkan oleh para penguasa masa lalu. Pemilihan mata air ini sebagai lokasi tempat suci tampaknya sangat bersesuaian dengan konsep-konsep India kuno yang mengisyaratkan bahwa lokasi sebuah kuil sedapat mungkin harus berdekatan tirtha. Karena itu tidaklah mengherankan apabila di sepanjang Tukad Pakerisan ditemukan cukup banyak bangunan-bangunan candi atau Pura.
              Berbicara mengenai keaslian dari Pura ini sulit untuk bisa dijelaskan karena tidak diketahui wujud fisik bangunan sebelum menjadi sebuah Pura yang ditata dengan konsep arsitektur tradisional Bali tersebut. Demikian pula bagaimana bentuk utuh dari bangunan pemujaan sebelum dilengkapi dengan pelinggih.
              Pura Tirtha Empul terletak di Dusun Manukaya Let, Desa Manukaya Kecamatan Tampaksiring Bali. Untuk mengungkap pendirian Pura ini beberapa sumber yang dapat digunakan yaitu artefaktual dan prasasti batu. Sumber Artefaktual yang ditemukan itu tidak banyak membantu mengungkap sejarah, tetapi diketemukan prasasti yang dipahat di sebuah batu ikut membantu upaya dalam menjelaskan sejarah situs tersebut. Pura ini sudah dikenal sejak tahun 1925.
              Tersebutlah seorang raja yang bernama Mayadanawa memerintah di kerjaan Bedulu. Raja itu bersifat angkara murka, menganggap dirinya sebagai dewa yang patut dipuja dan disembah, serta melarang rakyatnya sembahyang atau mengaturkan saji-sajian kepada Dewa ataupun kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di mempunyai beberapa orang kepercayaan antara lain : Maha Patih Kolo Wong, Tumenggung Mangsa Yaksa, Demung Sila Yaksa, Mantri Senakala, Patih Darma Wisila dan Patih Sura punggung. Sifat buruk Mayadanawa terdengar oleh Bhatara Mahadewa, lalu beliau menghadap Bhatara Pasupati yang dipuja di gunung Mahameru. Disana dibicarakan bagaimana caranya melenyapkan Mayadanawa yang bersifat angkara murka serta merusak ajaran agama tersebut. Untuk keperluan itu maka disepakati mengirim Bhatara Indra yang diikuti oleh mahapatih Raja Mong, Mantri Bayu Suta, Sang Sena Raja Brahma, Citranggada, Citrasena dan Kayanta.
              Kedatangan Bhatara Indra serta pengikut-pengikutnya terdengar oleh Mayadanawa, maka beliaupun segera memerintahkan bala tentara agar siap tempur menghadapi Bhatara Indra. Pertempuran segera berkobar dengan sengitnya, banyak sekali tentara Mayadanawa terbunuh dalam pertempuran itu, Setelah merasa dirinya tidak tahan lagi menghadapi amukan bala tentara Bhatara Indra, Mayadanawa bersama-sama dengan patih Kala Wong, melarikan diri dan dikejar oleh pasukan Bhatara Indra.
              Dalam pengejaran itu, Mayadanawa bersembunyi di beberapa tempat, pertama dikala Mayadanawa bersembunyi di sebuah pohon timbul serta mengubah dirinya menjadi serupa dengan tempatnya bersembunyi. Bhatara Indra memanah pohon tersebut dan Mayadanawapun keluar dari persembunyiannya serta melarikan diri ke Kendran berwujud sebagai seorang widiadara. Setelah Mayadanawa terkejar lehernya terpenggal oleh Bhatara Indra. Dalam keadaan kepayahan itu, Mayadanawa masih sempat melarikan diri ke Blusung serta menyamar menjadi busung (daun kelapa muda). Busung itupun dipanah oleh Bhatara Indra. Mayadanawa kembali ke wujud aslinya dan melarikan diri ke Sauh Batu. Batu itu dikapak oleh pengikut-pengikut Bhatara Indra, maka Raja yang malang tersebut, melarikan diri lagi menuju Penyusuhan dan disini berubah menjadi susuh. Setelah susuh dipatuk, Mayadanawa berubah menjadi seekor burung besar dan terbang menuju Desa Manukaya. Setiba disana, mataharipun terbenam sehingga peperangan terpaksa dihentikan.
              Pada waktu malam harinya, Mayadanawa dan Kala Wong melakukan tipu muslihat untuk membunuh bala tentara Bhatara Indra. Mereka menciptakan yeh cetik (air racun) agar nantinya diminum oleh bala tentara Bhatara Indra, mengingat mereka pasti haus setelah bertempur sengit pada siang harinya. Tipu muslihat itu ternyata mengenai sasaran. Melihat keadaan yang gawat itu, Bhatara Indra memancangkan tunggul (semacam tombak) di sebelah yeh tersebut. Seketika keluarlah dari dalam tanah tirtha amerta pengentas urip yang juga secara lebih khusus disebut Tirtha Empul itu.
              Keesokan harinya pengejaran terhadap Mayadanawa dilanjutkan. Dengan menyamar sebagai pendeta, Mayadanawa dan Kala Wong menuju Desa Tampaksiring. Setelah sampai di Pangkung Patas, mereka merubah wujudnya menjadi taulan paras (sejenis palung suci daripada batu padas) Taulan paras tersebut dihujani panah oleh bala tentara Bhatara Indra dan keluarlah darah menyembur dari togog suci tersebut yang pada hakekatnya merupakan darah Mayadanawa. Maka tamatlah hidup Raja Mayadanawa sang angkara murka itu.
              Aliran darahnya itu mengalir menjadi Sungai Petanu dewasa ini. Dalam desertasi Dr. Weda Kusuma, 2002 dijelaskan bahwa : “ Darah yang keluar dari mulut Mayadanawa mengaliri air Petanu. Air tersebut tidak boleh diminum, digunakan untuk mandi, cuci muka dan dijadikan tirtha. Pada pertapa yang menggunakan air tersebut akan mendapat malapetaka, tapanya tidak akan berhasil karena air itu diyakini bersumber dari darah raksasa. Atas kematian Mayadanawa, ibunya (Dewi Danu) marah, menyebabkan air danau mendidih. Beliau ingin menghadap Dewa Indra namun tidak kesampaian karena terkejut oleh kuakan (suara) gajah Dewa Indra. Dewi Danu mengutuk siapa yang memlihara gajah di Bali akan selalu mendapat malapetaka, demikian juga orang membawa dan mendatangkan gajah ke Bali akan mendapatkan malapetaka tenggelam di laut (KMD,XV : 1 -  XVI : 2).
              Berdasarkan Usana Bali, Kusuma Dewa, Raja Purana dan Piagam Batu tertulis yang terdapat di Pura Sakenan Manukaya Let dapat disimpulkan sebagai berikut : kemungkinan Sri Mayadanawa berasal dari sekitar Danau Batur kalau diperhatikan dari mana baginda. Maya berarti Gaib dan Danawa berasal dari daerah danau. Ayah Baginda beranama Bhagawan Kasyapa. Menurut cerita Hindu, Bhagawan Kasyapa adalah penganut aliran agama Budha Hinayana. Paham ini tidak mengakui adanya dewa-dewa di kekuasaan mahadewa, seperti yang diajarkan oleh agama Siwa dan Budha-Mahayana. Itulah pokok pangkal perbedaan Agama Budha Hinayana yang dipimpin oleh Sri Mayadanawa dengan Agama Siwa-Budha-Mahayana dibawah pimpinan Baginda Sri Candra Bhaya Singa Warmadewa (Subaga, 1968 : 23).
              Mayadanawa menganut aliran Budha Hinayana dikalahkan oleh Sri Candra Bhaya Singa Warmadewa yang menganut ajaran Siwa dari India. Untuk mengenang jasa-jasa Sri Candra Singa Bhaya Warmadewa yang mempunyai kekuatan menyamai Dewa Indra maka dibuatkanlah pelinggih yang berupa Tepasana (Hasil wawancara I Gusti Ngurah Swastika, 1 Maret 2014).  Data-data sejarah menyatakan bahwa : ajaran agama Hindu dari India ke Bali sebenarnya di bawa oleh keturunan Panca Pendawa (terdapat pada adi parwa).
1.6  Struktur Pura Tirtha Empul
              Perbedaan-perbedaan kecil dapat ditemukan dalam komplek Pura Tirta Empul, jika dibandingkan dengan kebanyakan pura di Bali, misalnya letak dan bentuk pintu masuk ke halaman pura suci itu, namun struktur pokok atau struktur dasar pura itu masih tetap dikatakan sama dengan struktur pokok pura-pura di Bali pada umumnya. Keseluruhan kopleknya tersebut terdiri atas tiga halaman yaitu : Jabaan (halaman luar), Jaba Tengah (halaman tengah) dan Jeroan (halaman dalam yang merupakan bagian yang tersuci dari keseluruhan komplek pura).
              Masing-masing halaman tersebut diatas ada sejumlah bangunan yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu yaitu sebagai berikut :
1.      Bangunan-bangunan di jabaan (halaman luar).
Wantilan yang digunakan sebagai tempat musyawarah dan tempat mesandekan bagi para pemedek/umat Hindu yang akan ngaturang bakti.
2.      Bangunan-bangunan di jaba tengah.
Jaba tengah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu komplek Petirthan dan komplek Pewaregan (dapur).
       Dibagian petirtan terdapat sejumlah pancuran dan beberapa bangunan yaitu :
1) Pancuran Pancaka Tirta, terdiri dari lima pancuran yang airnya digunakan untuk keperluan Upacara Panca Yadnya.
2) Pancuran permandian laki-laki, yang pancurannya berjumlah 8 pancuran.
3) Pancuran permandian wanita, yang pancurannya berjumlah 13 buah.
4) Pancuran Wong Camah, yang menghadap kebarat ada 5 pancuran
5) Bale Pegat, bale ini bertiang delapan berfungsi sebagai pelinggih Bhatara Sedahan Bagawan Penyarikan.
6) Bale Agung, merupakan pelinggih untuk Betara di Tirta Empul. Balai ini dengan denah dasar segi empat panjang, bertiang 10 buah diukir dengan prada gede dengan beratap ijuk.
7) Bale Pegambuhan, tempat ini tempat diselenggarakannya Tari Gambuh yang dipertunjukkan pada hari piodalan di Pura Tirta Empul.
8) Bale Lingga-Yoni.
Di bangunan ini terletak Lingga Yoni yang terbuat dari batu.
9) Taman Suci, terletak di bagian Timur jaba tengah, berupa sebuah telaga, ada beberapa pancuran yang mengalirkan air telaga itu.
     Bangunan-bangunan yang berada di komplek pewaregan adalah :
1) Gedong Beras, tempat menyimpan beras untuk keperluan upacara yang dilaksanakan untuk keperluan pura tersebut.
2) Pewaregan, tempat orang memasak segala saji-sajian untuk keperluan upacara yang bersangkutan.
3) Bale Penandingan, tempat mempersiapkan saji-sajian sebelum dihaturkan di pelinggih-pelinggih yang telah ditentukan.
4) Bale Penandingan Pulakerti, bangunan ini digunakan sebagai tempat saji-sajian yang dipersembahkan kepada para Dewa waktu dilakukan upacara penyucian.
5) Bale Penyelam, balai ini khusus dipakai untuk memasak daging (kecuali daging babi dan sapi), yaitu daging itik, daging ayam, kerbau dan sebagainya.
6) Bale Kul-kul, yang menjulang cukup tinggi. Kul-kul (kentongan dari kayu) di gantung. Kul-kul itu dibunyikan pada saat memanggil Desa (penyungsung) pura untuk berkumpul bermusyawarah.
7) Bale Gede, khusus sebagai tempat memasak daging babi.
8) Bale Pertemuan, tempat para tamu yang datang pada waktu diadakan atau dilaksanakan upacara



              Bangunan-bangunan di Utama Mandala yang terdapat di halaman yang suci ini adalah sebagai berikut :
1) Tapasana, merupakan pelinggih Bhatara Indra.
2) Limas, yang terletak di sebelah timur bangunan Tepasana dan menghadap keselatan. Lewat bangunan ini di puja Bhatara di Gunung Agung.
3) Ada tiga bangunan yang disebut Gedong berderet di bagian timur halaman jeroan menghadap ke barat, yang paling utara tempat memuja Bhatara Gunung Batur dan yang kedua buah lagi disebut Penyineban, tempat penyimpanan arca-arca dewa.
4) Paruman Agung, Bangunan ini bertiang 12 dan beratap ijuk, dipandang sebagai tempat pertemuan para Dewa yang turun pada waktu diadakan upacara di Pura Tirta Empul.
5) Bale Peselang, terletak disebelah selatan Paruman Agung, bertiang tujuh dan beratap ijuk, semua tiang kayunya di ukir dan diprade sehingga kelihatan sangat menakjubkan. Balai ini merupakan pelinggih Bhatara Kabeh, tempat mensyukuri panen yang berhasil.
6) Balai Pawedan, tempat duduk pendeta pada waktu memimpin upacara dan mengucapkan mantra-mantranya. Bangunan ini bertiang delapan dan beratap ijuk, letaknya di bagian tengah jeroan.
7) Gedong Agung, letaknya di sebelah timur Tepasana, tempat menyimpan perhiasan untuk para dewa seperti permata, cincin, bunga mas, gelang dan lain sebagainya.
8) Gedong Sari, tempat memuja Dewi Sri atau Dewi kesuburan.
9) Balai Pamereman, dipandang sebagai tempat peraduan para Dewa.
10) Piyasan Pengelurah Agung, terletak di sebelah timur balai Pamereman, tempat memuja roh suci orang-orang yang terhormat. Denah dasar bangunan ini berbentuk bujur sangkar dan bangunannya sendiri bertiang enam.
11) Piyasan Ida Dewa Galiran, yaitu sebagai pelinggih Bhatara Ida Dewa Galiran.
12)    Balai Penganteb, bertiang enam beratap ijuk. Bangunan ini merupakan tempat para pemangku menghaturkan saji-sajian kepada para Dewa.
13)    Balai Gong, tempat menabuh gong , yang berfungsi mengiringi upacara. Bangunan suci bertiang 10 dan beratap ijuk.
14)    Balai Pecanangan, berbentuk bujur sangkar dan bertiang 12. Dibangunan ini disimpan saji-sajian sebelum dihaturkan di beberapa pelinggih.
1.7  Status dan Upacara
              Pura Tirta Empul merupakan pura cagar alam yang dilindungi oleh Dinas Purbakala Propinsi Bali, disamping sebagai Pura Kahyangan Jagat (penyungsungan gumi). Pura Tirta Empul disungsung oleh Banjar Manukaya dan Banjar Timbul.
              Desa Adat manukaya Let bertanggung jawab penuh segala urusan yang menyangkut wewangunan dan piodalan (wali) yang diselenggarakan secara rutin maupun setiap paruman wali (setiap odalan/upacara). Walaupun secara fissik diempon/disungsung oleh Desa Manukaya Let, sama sekali bukan berarti umat yang berasal dari luar Tampaksiring dilarang sembahyang kesana.
              Pembangunan fisik dan penyelenggaraan upacara-upacara di Pura itu biayanya tidak sedikit. Menurut informasi dari Bendesa Tirta Empul Made Mawi Arnatha tanggal 1 Maret 2014 menyatakan sebagai berikut :
1.      Dari pemasukan selendang dan lain-lain tiap 1 tahun sebesar Rp. 200.000.000
2.      Hasil laba berlokasi di Tampaksiring 23 sikut dan Payangan (Subak Kasur Sari) sebanyak 45 kecoran dan ditambah sebidang kebun tidak begitu luas.
3.      Setiap odalan di Pura Tirta Empul Subak Kemba dan Pulagan ngaturang sawinih, masing-masing subak ngaturang 2 kg beras, 1 batang bambu, dan 1 lembar kelangsah (informasi pekasih Kemba Dewa Nyoman Yadnya, 1 Maret 2014). Jumlah subak Kamba dan subak Pulagan adalah 450 subak (kecoran) subak tersebut diatas setiap tahun/saat piodalan ngaturang Suwinih.
              Yadnya piodalan merupakan salah satu pelaksanaan tri kerangka dasar Agama Hindu yang terdiri dari Tattwa, Susila (etika) dan Upacara (ritual). Dewa Yadnya merupakan salah satu pelaksanaan Panca Yadnya yang rutin dilaksanakan di Pura Tirtha Empul.
              Dalam pelaksanaan yadnya (upacara) di Pura Tirtha Empul dapat dibagi menjadi :
1.      Upacara tingkat madya yaitu : mebagia pula kerti, nyatur, nyanggar tawang. Lamanya Ida Bhatara nyejer kalau upacara Ngwayon diadakan  di Pura Tirta Empul lamanya 11 hari. Kalau tidak di Tirtha Empul di upacara ngwayon maka Ida Bhatara nyejer hanya 7 hari.
2.      Sedang upacara pada nista jarang diadakan.
3.      Menurut Bendesa Tirtha mengatakan karya pada tingkat utama belum pernah dilaksanakan, sepanjang beliau menjadi bendesa (Made Arnata, Wawancara, 1 Maret 2014).

              Upacara tingkat menengah (madya) dilaksanakan tiap-tiap satu tahun sekali bertepatan dengan purnama kapat yang jatuh antara bulan Oktober-Nopember. Upacara tersebut biasanya disebut upacara Ngusaba Desa.
              Upacara Ngusaba Desa, goal pemujaan secara fisik adalah air dan bumi, sehingga yang dipuja dalam upacara ngusaba desa adalah Wisnu (air), Pertiwi Dewi (bumi). Tetapi pelaksanaan pemujaan ini, agar air dan bumi (tanah) memiliki kekuatan dan kesuburan sehingga semua tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh dengan subur dengan daun, bunga, buah, batangnya, ataupun umbinya, untuk dapat dinikmati oleh umat manusia, sehingga dapat dicapai dan menikmati Santa Jagathita dalam hidup dan kehidupan ini, maka penekanan pemujaannya adalah memuja sakti (kekuatan) (Oka Supartha, 2000 : 18).           
              Untuk melengkapi upacara diadakan pula pertunjukan tari-tarian sakral berupa rejangan baris dap-dap, baris tumbak, wayang lemah dan topeng. Biasanya upacara besar ini berlangsung antara 7 hari sampai dengan 11 hari. Pada upacara ngusaba desa di selenggarakan tabuh rah tiga seet (tiga pasang petarung ayam) dengan catatan tidak ada taruhan.
              Upacara kecil (piodalan alit) diselenggarakan setiap enam bulan sekali yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wayang (Tumpek Wayang). Pusat kegiatan ini bukan di Tirta Empul melainkan Pura Agung Manukaya Let, karena disana disimpan pratima-pratima/arca dewa yang dipuja di Pura Tirta Empul. Sesajen (upacara) yang dipersembahkan lebih kecil daripada upacara ngusaba desa.
              Upacara yang dilaksanakan setiap tumpek yang datang setiap bulan sekali, upacara dibebankan kepada setiap banjar/dusun pengemong Pura Tirta Empul. Khusus untuk upacara di Pura Tirta Empul tidak boleh dipuput oleh pendeta. Seharusnya dipuput oleh pemangku (Yan banggue) Ida Bhatara di Tirta Empul. Menurut Purana Mangening beliau sudah mempunyai Bhagawanta secara khusus, yang mempunyai secara sekala niskala mengatur upacara khusus di Pura Tirta Empul.
1.8  Jenis Peninggalan Purbakala
              Pura Tirta Empul merupakan Pura kuno, karena peninggalan sejarah dan purbakala Bali. Kalau dilihat bentuk bangunan yang kayu serba diukir dan polesan prada, seolah-olah terkesan Pura itu baru. Berbicara masalah Pura Tirta Empul, dapat dilihat/dibuktikan bahwa banyak benda bersejarah dan bangunan Tepasana.
              Sejumlah batu alam banyak diketemukan baik di pelinggih yang terletak di sebelah timur, barat dan selatan Tepasana. Agak jauh keselatan dari Tepasana bahkan ditemukan lesung batu yang terdapat di halaman jaba tengah. Benda-benda/batu alam tersebut diatas, merupakan warisan jaman kejayaan Megalitik (Jaman batu besar). Dimana batu alam itu mempunyai fungsi pada kehidupan manusia mempunyai kekuatan gaib untuk meraih keuntungan yang berkaitan dengan roh nenek moyang. Adapun bentuk batu alam tersebut bisa berbentuk patung atau bangunan-bangunan tertentu.
              Telaga merupakan suatu peninggalan sejarah dimana pembuatannya yang disebutkan dalam Prasasti Manukaya (884 Isaka). Pada jaman itu Raja yang memerintah adalah Sri Candra Bharga Singa Warmadewa.
              Lingga Yoni merupakan konsep Purusa-Pradana sebagai konsep kesuburan dimana Tuhan yang bersifat Wiguna Brahman-Saguna Brahma. Lingga Yoni itu berdiri di belakang aling-aling candi bentar tempat keluar masuk jeroan Pura. Lingga Yoni berdiri di atas bebatuan dan diapit oleh patung seekor sapi dan seekor singa. Lingga Yoni adalah simbol pemujaan terhadap Siwa sekaligus saktinya Pemujaan terhadap Siwa sudah lama dilakukan oleh penduduk Bali dari jaman Bali kema jaman sekte-sekte sebelum agama Hindu masuk ke Bali Dalam Prasasti Canggal (732 masehi) yaitu mengenai lingga yang terletak di Gunung Wukir. Pada jaman Bali Kema pemujaan terhadap lingga sudah dilakukan orang.
              Lingga yang terdapat di Pura Tirta Empul mempunyai tiga bagian     yaitu :  
1.      Siwabhaga (bagian atas berbentuk sitendris)
2.      Wisnubhaga (bagian tengah yang bersegi delapan)
3.      Brahmabhaga (bagian teerbawah yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Bagian terbawah masuk kedalam cakung yang sengaja dibuat yoni yang ada di bawahnya)
              Bangunan Tepasana yang sekarang merupakan hasil pemugaran bukan bentuk asli. Tepasana dipugar tahun 1889 saka/tahun 1967 masehi oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Gianyar bersama-sama dengan masyarakat Tampaksiring. Angka tahun tersebut dinyatakan dengan Candrasingkala yang berupa panil yang berisi gambar : bulan yang bernilai 1, Gajah yang bernilai 8, Naga yang bernilai 8 dan Candi Bentar/Lawang yang bernilai 9.
              Bentuk secara keseluruhan bangunan suci tersebut tampak seperti piramide yang terpancung yang bertingkat. Tepasana merupakan tempat duduk/altar Dewa Indra.


1.9  Larangan-larangan (Etika Masuk Pura)
              Menurut Bendesa Adat Tirta Empul menyatakan, sangsi-sangsi pelanggaran sebagai berikut :
1.      Tidak diperbolehkan cuci muka di Pancaka Tirta.
2.      Tidak diperbolehkan naik di atas pancuran dan di pelinggih (pura), sebel karena kematian, sebel/kotor kain (datang bulan). Apabila larangan tersebut diatas dilanggar maka dikenakan sangsi berupa upacara/banten Pasepuh-sepuhan yaitu Caru Panca Sata.
3.      Kalau masuk ke Taman Suci (Narmada) akan dikenakan berupa upacara/banten Caru Ngeresi Gana.
              Demikian sangsi apabila melanggar aturan adat yang diterapkan oleh krama Desa Adat Tirta Empul. Aturan tersebut diatas diterapkan semata-mata bukan berbau politis tetapi untuk menjaga kesucian Pura agar tetap lesatari.

1.10.  Waktu yang Baik untuk Melukat (Melebur)
              Hari Purnama Tilem banyak masyarakat baik berasal dari Desa Tampaksiring maupun diluar Desa Tampaksiring banyak nunas penglukatan/melebur di permandian Tirta Empul. Tujuannya untuk membersihkan segala dosa mala, baik secara sekala maupun niskala (lahir dan bathin) dan sekaligus untuk mendekatkan diri dengan Ida Bhatara yang melinggih disana.
              Demikian tujuan melebur/melukat pada hari Purnama dan pada hari Tilem itu agar apa yang dibersihkan, disucikan air itu dapat berfungsi dengan baik, sehingga manusia dapat bekerja, membangun masyarakat yang adil, makmur dan bahagia.
              Sucikanlah lidah dengan menyebut nama-nama Dewa. Pada hari Purnama memuja Dewi Candra dengan mengucapkan mantra “OM, Ang Ah Candra Koti ya Namah”. Pada hari Tilem memuja Dewa Surya dengan mengucapkan mantra “Om, Ung Surya Koti Ya Namah” (Ananda Kesuma, 1985;57).



2.  Bentuk dan Manfaat Tirtha yang Terdapat di Taman Suci
Tirtha Empul
2.1 Bentuk Pancaka Tirtha Taman Suci Pura Tirtha Empul
              Taman Suci terletak dibagian timur jaba tengah pura Tirtha Empul, yang berupa sebuah telaga. Sebagai sumber mata air yang mengalirkan air ke tempat permandian melalui pancuran-pancuran. Telaga/taman suci itu dikelilingi oleh tembok dari batu padas dengan ukiran yang cukup baik. Taman suci/telaga Tirtha Empul berbentuk persegi empat panjang dengan ukuran panjang 2.590 cm dan lebar 1.605 cm dengan luas 156.950 cm2. Taman suci sangat disakralkan oleh umat Hindu, karena sebagai sumber kehidupan (Tirtha) juga sebagai tempat untuk melakukan suatu upacara makelem.
              Didalam Taman Suci di atas terdapat tiga Arungan yang bentuknya seperti temuku yang berfungsi sebagai pembagian air yang mengalir ke pemandian antara lain :
1.      Aliran Air melalui Arungan/temuku 1 (satu), merupakan pembagian dari Taman Suci ke Pancaka Tirtha, berfungsi sebagai tempat Melis Ida Bhatara baik yang berasal dari Tampaksiring maupun luar Desa Tampaksiring.
2.      Aliran air melalui Arungan/temuku 2 (dua), ditujukan pada Pitra Yadnya
3.      Aliran air melalui Arungan/temuku 3 (tiga), merupakan Tirtha Pengelukatan/pengeleburan yang diperuntukkan kepada manusia.
              Disamping berfungsi sebagai pembagian air/tirtha tersebut diatas, juga pembagian air dari jaman dulu sampai kini air Tirtha Empul dipergunakan sebagai pengairan/pertanian yaitu disubak Pulagan dan subak Kemba. Kenyataan tersebut menandakan begitu besarnya perhatian penguasa jaman dulu baik di bidang parahyangan maupun kemakmuran rakyat.



              Bentuk Pancaka Tirtha Taman Suci Air Empul di Desa Manukaya mempunyai bentuk persegi empat sama sisi dengan ukuran  8m x 8m dengan dibentengi oleh tembok penyengker yang besar dan kokoh. Adapun fungsi tembok tersebut adalah untuk tempat alat-alat upacara dan pralingga saat umat melakukan Manca Tirtha (melis) ke Pancaka Tirtha.
              Adapun jenis Tirtha yang terdapat pada Pancaka Tirtha, sebagai   berikut : Tirtha Wasuh Pada (Banyun Cokor), Tirtha Tegteg, Tirtha Sudamala, Tirtha Penglukatan dan Tirtha Parisuda. Pancaka Tirtha letaknya paling timur (paling hulu) dalam arah mata angin timur dan utara dianggap tempat yang paling utama.
2.2 Fungsi Pancaka Tirtha dalam Penyucian
            Pensucian dalam kontek ini berkaitan dengan adanya kesadaran atas dosa yang dimiliki manusia. Dosa biasanya menimbulkan berbagai bentuk penderitaan yang menyiksa lahir bathin manusia. Dosa bagi tradisi Hindu dapat menghambat peningkatan kualitas kehidupan sekaligus sebagai proses pendekatan diri kepada Tuhan. Hal ini karena Tuhan hanya dapat didekati melalui kesucian, berupa kesucian lahir bathin manusia yang harus disucikan (sudha).
2.3 Fungsi Pancaka Tirtha dalam Upacara Keagamaan
          Upacara keagamaan (Panca Yadnya) yang dilaksanakan di Desa Tampaksiring selalu menggunakan tirtha  (Pancaka Tirtha) Taman Suci Tirtha Empul sebagai sarana (Pemuput) upacara antara lain :
2.3.1  Fungsi Tirtha Wasuh Pada (Banyun Cokor)
              Karunia Tuhan dan memelihara karunia tersebut dilambangkan oleh Tirtha Wasuh Pada. Tirtha ini diberikan atau dipercikkan di kepala dan diraupkan ke wajah agar mengenai semua alat Panca Buddhindriya. Alat Panca Buddhindriya atau Panca Karmendriya adalah mata, telinga, hidung lidah dan kulit wajah. Hal ini bermakna bahwa semua alat Panca Buddhindriya telah tersucikan. Tirtha Wasuh Pada itu ibarat bibit yang ditanam dalam lahan yang gembur dan bersih. Pemangku dan Pandita saat mensucikan Tirtha Wasuh Pada pada umat biasanya dengan pengantar mantra Pancaksara Stuti.

2.3.2  Fungsi Tirtha Tegteg
              Fungsi Tirtha Tegteg di permandian Tirtha Empul berfungsi ngaci Sri yaitu dipakai pada padi, beras, cawu, nasi. Setiap upacara (Panca Yadnya)
2.3.3  Fungsi Tirtha Sudhamala
              Tirtha Sudamala yang ada di Tirtha Empul berfungsi/digunakan dalam upacara :
1.      Mecaru dari Tingkat Nista sampai pada Tingkat Utama
2.      Upacara Mebayuh Oton terutama terhadap seseorang yang lahir pada wuku wayang (wuku salah wadi).
3.      Tirtha Sudamala juga dalam Dewa Yadnya di fungsikan untuk ngelukat banten, pelinggih.
              Tirtha Pancaka Tirtha, yang terdiri dari Tirtha Parisuda, Penglukatan, Sudamala, Tegteg, Bangun Cokor berfungsi sebagai pemutus karya diantaranya : Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, Bhuta Yadnya dan upacara Nyekah/Memukur.
2.3.4  Fungsi Tirtha Panglukatan
              Sumber air dalam hal ini yang dimaksud adalah Pancaka Tirtha khususnya Tirtha Penglukatan yang terdapat di Pura Tirtha Empul, yang diyakini menurut spiritual oleh umat Hindu Tampaksiring memiliki fungsi untuk mensucikan segala Upakaranya (Panca Yadnya) akan dipersembahkan agar mendapat kesukseman, bebas dari segala halangan dan rintangan, bebas dari penyakit, tidak kena papa (bebas dari dosa).
2.3.5  Fungsi Tirtha Parisudha
              Tirtha Pemarisudhan  ini berasal dari air danau atau Gangga yang dihidupkan oleh Naga Vasuki sebagai purusa bertenaga Agni disucikan oleh Siwa, karena itulah Tirtha ini memiliki kekuatan yang sangat dahsyat bagaikan samudra. Tirtha ini merupakan anugrah dari Dewa Iswara yang bersenjatakan Bajra yang sifatnya atau fungsinya untuk mensucikan atau membersihkan segala yang kotor, noda (sebagai pelebur segala macam dosa atau kekotoran).
2.4  Manfaat Tirtha Empul
2.4.1  Manfaat Tirtha Empul dalam Upacara Mamukur
              Upacara Mamukur adalah upacara untuk meningkatkan kesucian arwah seseorang dari tingkat pitara ke tingkat dewapitara. Upacara ngaben menjadikan arwah seseorang kedas atau bersih keadaan yang semi suci. Arwahnya disebut pitara dan baru bisa berada di alam eter yaitu bhuahloka, belum bisa mencapai sorga. Arwah yang baru sampai tingkatan pitara kesanggah atau pemerajan (Utamamandala), selain hanya bisa di bale yang berada pada madia mandala. Maka dari itulah pada hari Galungan ia diberi punjung bertempat di bale. Mengapa belum bisa ke sanggah atau pemerajan, karena sang pitara itu masih dilekati oleh suksma-sarira yang membungkusnya yaitu prakerti.
              Berkenaan dengan upacara Mamukur/Nyekah fungsi Tirtha Empul adalah sangat penting, yang terdiri dari Tirtha Pamarisudan, Tirtha Panglukatan, Tirtha Tegteg, Tirtha Sudamala dan Tirtha Banguna Cokor. Setiap upacara Panca Yadnya terkecuali Pitra, semua memakai Tirtha tersebut diatas, fungsinya sebagai pemuput karya.
              Demikianlah Tirtha Pengelukatan dan Tirtha Pembersihan mempunyai arti dan makna kesucian lahir bathin seluruh unsur yang terkait dalam pelaksanaan Upacara Yadnya.

2.4.2  Manfaat Tirtha Empul dalam Pengelukatan Wang Mati

              Fungsi Tirtha (Yeh Empul), yeh bulan, yeh surya, yeh sudamala, yang terdapat di permandian Tirtha Empul, berfungsi gelukat/membersihkan , menyucikan dan melebur segala dosa/mala yang dakibatkan oleh mati kabangawan (mati salah Pati)

2.4.3  Manfaat  Tirtha Empul Sebagai Obat

              Air mempunyai manfaat yang besar bagi kesehatan fisik maupun mental. Penggunaan air sebagai obat telah lama ditulis maupun dilaksanakan hingga sekarang. Terutama di Bali hampir setiap Balian menggunakan air sebagai inti ataupun sarana penunjang.
              Adapun jenis yang digunakan sebagai obat yaitu berupa air pancuran. Air pancuran pada jaman dahulu telah menjadi sarana salah satu penyucian pikiran yang sedang tidak stabil. Pancuran jika berasal dari mata air besar seperti di Tirtha Empul Tampaksiring akan diberi nama akan keperluan masyarakat. Jika aliran kecoran menurut mata angin maka pancuran itu akan berbeda-beda namanya seperti berikut : Jika “Ngecor Kangin” namanya pancuran Sudamala namun jatuhnya seperti ikut-ikut (ibar) gunanya dipakai ngelukat atau ngobati rahaning gering. Jika “Ngecor Kaja” namanya pancoran Salukat fungsinya untuk ngalukat tempat pekarangan yang menyebabkan inan rumah sakitan. Seperti karang numbuk rurung, karang kaingkuhin jalan, karang kakenin para dan karang karipubaya. Jika “Ngecor Kelod” namanya Pancuran Surya untuk membangkitkan kepercayaan diri, kilang rasa (impoten). Berfungsi juga pelaris, lebih-lebih pancoran pengeger itu berpapasan ada dari timur ada dari barat (Pancoran Bulan).
              Jadi.dari hasil Observasi diatas dapat disimpulkan bahwa Tirte Empul pada  Pancaka Tirtha di Taman Suci Pura Tirtha Empul Tampaksiring terletak di Madya Mandala (Jaba Tengah) paling timur, terdiri dari lima pancuran (Tirtha) yaitu Tirtha Banyun Cokor (Tirtha Sanjiwani) terletak di tengah, Tirtha Tegteg (Tirtha Merta Pawitra) di arah utara, Tirtha Sudamala (Tirtha Kundalini) terletak di arah barat, Tirtha Panglukatan (Tirtha Kamandalu) terletak di arah selatan dan Tirtha Parisudha (Tirtha Mahamertha) terletak di arah timur. Mengenai letak Tirtha tersebut dilihat dari segi kiblat arah mata angin (pengideran) nampak seperti di atas.
              Fungsi Pancaka Tirtha sebagai tempat bagi umat Hindu khususnya Tampaksiring untuk mohon Tirtha yang dipergunakan sebagai pemuput upacara dan sebagai tempat melasti (mekiis) angamet sarining sarira yang dipergunakan sebagai sarana ritual.
              Penemuan dalam penelitian ini menurut teori psykokosmos bahwa Tuhan disamakan dengan Tirtha atau air yakni Pancaka Tirtha yang melambangkan ista dewata yang difungsikan sebagai sarana upacara diantaranya Tirtha Banyun Cokor berfungsi sebagai anugrah dari Dewa Siwa untuk menghilangkan atau melebur dasa mala dan tri mala. Tirtha Tegteg digunakan setiap upacara atau Panca Yadnya diawali dengan upacara Negtegang dengan tujuan mohon Penginih-inih kepada Dewi Sri (sakti dari Dewa Wisnu). Tirtha Sudamala difungsikan untuk mensucikan atau amarisudha bumi (mecaru) dan mebayuh oton memohon pada Dewa Mahadewa. Tirtha Parisudha berfungsi untuk membersihkan dasa mala dan tri mala pada umumnya digunakan untuk melaspas bangunan pura maupun perumahan, memohon kehadapan Dewa yang berstana di sebelah timur yaitu Dewa Iswara. Tirtha Panglukatan difungsikan sebagai lambang pensucian, penguripan, pemeliharaan sebagai penglukatan dipujalah Dewa Siwa.
             
5.DAFTAR INFORMAN
1. Nama               :  Ida Pedanda Gede Kambengan Manuaba
Umur              :  66 tahun
Pendidikan     :  SD
Pekerjaan        :  Rohaniawan
Alamat            :  Griya Penaka, Banjar Penaka Tampaksiring Gianyar.
2.   Nama             : Jero Mangku Penataran Sarasidi
Umur            : 78 tahun
Pendidikan   :  SR
Pekerjaan      :  Rohaniawan
Alamat          : Banjar Saraseda Tampaksiring Gianyar.
3. Nama               :  Dewa Gede Mangku Wenten
Umur              :  59 tahun
Pendidikan     :  SD
Pekerjaan        :  Jero Mangku Tirta Empul (Rohaniawan)
Alamat            :  Banjar Bantas, Desa Manukaya Let, Tampaksiring Gianyar.
4. Nama               :  Jero Mangku Mangening
Umur              :  50 tahun
Pendidikan     :  SD
Pekerjaan        :  Jero Mangku Pura Mangening (Rohaniawan)
Alamat            :  Banjar Sarasida, Tampaksiring Gianyar.
6. Nama               :  Jero Mangku Mancingan
Umur            :  90 tahun
Pendidikan   :  SR
Pekerjaan      :  Mangku Kahyangan Tiga (Rohaniawan)
Alamat          :  Dusun Mancingan, Manukaya Tampaksiring Gianyar
7. Nama               :  Dewa Gede Mangku
Umur              :  70 tahun
Pendidikan     :  SR
Pekerjaan        :  Mangku Pura Dalem Pingit (Rohaniawan)
Alamat            :  Banjar Kawan Tampaksiring Gianyar.
8. Nama               :  Gusti Mangku Pasih
Umur              :  56 tahun
Pendidikan     :  SD
Pekerjaan        :  Pemangku di Pura Penataran Uluwatu (Rohaniawan)
Alamat            :  Banjar Kelodan, Desa Tampaksiring Gianyar.



8. Nama               :  I Made Mawi Arnata
Umur            :  54 tahun
Pendidikan   :  S-1
Pekerjaan      :  Bendesa Pura Tirta Empul
Alamat          :  Manukaya Let, Tampaksiring Gianyar.
9. Nama               :  Dewa Nyoman Mustika
Umur            :  59 tahun
Pendidikan   :  D-2
Pekerjaan       :  Pegawai   Cabang   Dinas   (kec Tampaksiring),   Pemangku
                        Dalang
Alamat          :  Banjar   Manukaya    Anyar,   Desa  Manukaya Tampaksiring
                        Gianyar